Selasa, 04 April 2017

Lewat Batik, lestari Kusuma berdayakan Kaum Difabel

Lebih teliti, Hasil Karya Tak Kalah Kualitas

Merasa trenyuh dengan kondisi kaum difabel, Lestari Kusuma Dewi, 42, mencoba memberdayakan mereka. pengrajin batik tulis di Dusun Tagalsari,, Desa Tegalsari, Kecamatan Ambulu ini pun mencoba mengajari anak-anak itu untuk bisa mandiri.

KHAWAS AUSKARNI, jember

SIANG itu, Sofyan Nugraha duduk di teras rumah milik Lestari Kusuma Dewi di Dusun Tegalsari, Desa Tegalsari, Kecamatan Ambulu. Dia sedang serius menggores motif batik pada selembar kain putih yang terhampar di hadapannya.

Pekerja lainnya --sekitar sepuluh orang-- seolah tak dihiraukannya. Mungkin saking fokusnya, agar tak salah dalam membatik. Karena membatik butu ketekunan dan kecermatan.
Sofyan merupakan penyandang disabilitas yang sudah tiga tahun terakhir belajar batik tulis di rumah Lestari, salah seorang pelaku UMKM batik tulis di wilayah Ambulu. Sofyan mengidap tuna rungu semnjak lahir. usianya kini menginjak 18 tahun. Tubuhnya kecil, dengan kulit langsat, serta rambut lurus hitam legap. sejak 2013 silam dia belajar di usaha batik tulis rumahan milik Lestari. Rupanya di situlah Sofyan menemukan dunia barunya.

Kebanyakan Memiliki Rasa Sensitif

Saban hari, mulai pukul 07.00, Sofyan berangkat dari rumahnya di Dusun Bedengan, Desa Tegalsari, ke rumah Lestari. Sofyan baru harinya bersamaan dengan karyawan lainnya.

Pemuda itu sempat mengenyam pendidikan formal namun tak sampai lulus Sekolah Dasar (SD). Dia beralasan jika gurunya waktu itu terlalu killer, hingga membuatnya takut berangkat sekolah. Dan akhirnya memutuskan berhenti.

Lestari mengatakan, jika sebenarnya bukan Sofyan saja penyandang disabilitas yang belajar membatik di rumahnya. Mulanya ada empat difabel, namun sekarang tersisa tiga.

Lestari sengaja mengajak mereka untuk ikut nimbrung di tempat usahanya. Tujuannya, agar mereka mampu berkarya lantas mandiri di kemudian hari.

Sebelumnya, Ibu dua anak itu memang sudah fokus pada gerakan kepedulian difabel. Bersama dengan rekan-rekannya yang tergabung dalam Forum Peduli Difabel (FPD) Lestari kerap melakukan penyuluhan ihwal disabilitas.

Tak jarang secara tim Lestari datang menemui keluarga inti tempat seorang penyandang disabilitas tinggal guna memberi pengarahan bagaimana seharusnya seorang difabel diperlakukan. Dalam forum itu dia bertindak sebagai ketua.

Dia sendiri mulanya bekerja sebagai penjahit. Lantas, saat memulai usaha batik, sekitar 2001 silam, dia memutuskan untuk mengikutsertakan warga difabel sebagai bentuk aksi nyata dari gerakan FPL.

Hampir semua karyawannya berangkat dari nol saat datang kepadanya. Lestari mesti mengajari dulu dari tingkat paling dasar.

Namun, mengajari orang kebanyakan tidaklah sama dengan mengajari mereka para penyandang disabilitas. "Mesti berbekal kesabaran ekstra," kata Lestari sambil mengekspresikan mimik muka keibuannya.

Pangdangan hidup mereka tak se realistis manusia pada umumnya. Jika orang kebanyakan mesti giat bekerja sembari menampilkan performa terbaik guna survive di tempat kerja, tidak demikian dengan mereka yang difabel. "Kadang masuk kadang tidak. Tapi kita harus sadari," ucapnya.

Di sisi lain, warga difabel kebanyakan memiliki sensitivitas tinggi. Sehingga, mesti pula pandai-pandai tiap kali berinteraksi dengan mereka.

Perkara lainnya, jenis disabilitas menentukan daya tangkap terhadap materi pelatihan. Bagi paratuna runggu seperti Sofyan, menguasai keahlian baru bukan perkara sulit. Pasalnya, kekurangpendengarannya tersebut justru membuat daya konsentrasinya tinggi. "Sofyan itu dua hari sudah mulai bisa membatik tanpa perlu pandampingan. Mungkin karena konsentrasinya tinggi," jelasnya.

Bahkan pada saat ini kualitas batik bikinan Sofyan sudah mampu menyamai buatan karyawan Lestari yang lain. Juga, dibanding karyawan difabel lainnya, Sofyan juga terlihat paling giat, baik dari segi produktivitas maupun kehadirannya setiap hari.

Lain halnya ketika Lestari dituntut mengajari Luluk, 32, seorang tuna grahita yang juga diajaknya belajar di usaha batiknya. Kesabaran dan ketelatenan tingkat tinggi benar-benar dibutuhkan.

"Mereka sebelumnya hanya tinggal di dalam rumah tanpa bersinggungan dengan dunia luar. Saat ini masih ada orang tua yang menghidupi mereka. Oke, tapi sampai kapan. Untuk itu mereka harus berkarya," kata titik sampai menepuk-nepuk bahu Sofyan yang masih asyik membatik.

Sebenarnya sejumlah penyandang disabilitas yang berusaha diajak Lestari untuk belajar membatik lebih itu banyak. Namun, sebagian besar mereka enggan dengan alasan malu. Mereka malu bersinggungan dengan dunia luar. Tak terkecuali Sofyan dan Luluk di awal-awal.

Bahkan di hari-hari pertama keduanya belajarnya di tempatnya, Lestari mesti rutin jadi objek dadakan. Baik saat berangkat maupun ketika pulang. "Kalau tidak gitu mereka nggak mau datang," katanya. (was/hdi)



Sumber Radar Jember 29 Januari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar