Senin, 03 April 2017

Geppsi, Inisiatif Sosialisasi Pendidikan Inklusi di Jember

Swadaya Anggota,Menyasar Sekolah Terpencil di pelosok Desa

Meski aturan hukum yang menjamin hak-hak kelompok difabel sudah diatur,pendidikan untuk anak - anak berkebutuhan khusus kurang optimal.Sekelompok dosen berinisiatif untuk membantu pelaksanaan pendidikan inklusi.Mereka memulai dari pelosok desa.

ADI FAIZIN,Jember

Sejak 3 Desember 2016,Jember telah memiliki perda Disabilitas yang berusaha menyempurnakan produk hukum sejenis yang berlaku sebelumnya.Perda yang disahkan bersamaan dengan peringatan Hari Disabilitas Internasional itu,salah satunya mengatur tentang pelaksanaan pendidikaan Inklusi.Yakni sekolah yang menggabungkan pendidikan untuk siswa dari anak berkebutuhan khusus(ABK)dengan siswa reguler.
"pendidikan inklusi ini penting agar anak berkebutuhan khusus di masa depan lebih mudah berinteraksi sosial.kalau sejak kecil mereka sekolah harus disendirikan.Nantinya akan sulit mendapatkan kepercayaan diri untuk bergaul Siti fannatus Syamsiah,salah satu aktivis yang fokus pada hak-hak masyarakat difabel.Dia juga anggota di Gerakan Peduli Pendidikan Inklusi(Geppsi)

Konsep Pendidikan Inklusi Belum Merata

Meski sudah beberapa tahun diterapkan,perempuan yang akrab disapa Fanna itu menilai,pelaksanaan sekolah inklusi masih kerap jauh dari konsep yang seharusnya diterapkan."Sekolah inklusi itu semestinya menggabungkan siswa ABK dengan kelas reguler.Tapi praktinya sering dipisah,"ujar Fanna.

Dengan berlakunya perda Disabilitas,muncul harapan akan perbaikan pendidikan inklusi di Jember. Namun sosialisasi dari penerapan  konsep pendidikan inklusi yang ideal oleh pemerintah,tidak mereka di Jember.

"Selama ini biasanya sosialisasinya hanya dilakukan di kalangan kepala SKPD(Satuan Kerja Perangkat Daerah)saja.kalaupun nanti turun,hanya sebagian saja kepala sekolah yang dilibatkan,"ujar perempuan yang juga dosen di IKIP PGRI Jember ini.

Karena itu,bersama beberapa rekannya sesama dosen,Fanna berinisiatif membantu sosialisasi konsep pendidikan inklusi atau Geppsi.Berbeda dengan kebijakan yang biasa dilakukan pemerintah,gerakan ini mengawali sosialisasinya dengan menyasar ke sekolah-sekolah yang berada di daerah pinggiran."Selain di pinggiran,kerap kali madrasah yang tidak berada dibawah Diknas,juga terabaikan dalam sosialisasi pendidikan inklusi ini.

Bersama tujuh rekannya dari disiplin yang berbeda,Fanna mengawalinya dengan memilih Madrasah Ibtidaiyah Maarif(MI-MA) 02 Jombang,yang berbeda di bawah naungan Pondok Pesantren Mabdaul Maarif,Desa/Kecamatan Jombong.Dipilihnya sekolah ini sebagai pilot project berawal dari konsultasi yang dilakukan kepala MIMA 02 Jombang,M zuhdi Asykuri.

"saat itu saya konsultasi kepada teman lama saya di pesantren yang sekarang jadi bosen IKIP PGRI.Saya bertanya tentang bagaimana sebenarnya menangani kelas inklusi,"ujar Zuhdi,Dari cerita itu,Zuhdi kemudian dikenalkan kepada Fanna yang selama aktif bergerak di advokasi pendidikan inklusi.

dari situ,Fanna bersama beberapa rekannya melakukan survey pendahuluan pada Desember 2016 untuk mengetahui penerapan pendidikan inklusi di MIMA 02 Jombang."Saya salut dengan MIMA 02 Jombang ini.Dengan keterbatasan yang ada,para gurunya ikhlas mendidik siswa dari anak-anak berkebutuhan khusus(ABK),"Ujar Fanna.Keihlasan  sekolah untuk menerima siswa ABK tersebut,Menurut Fanna juga dilatarbelakangi oleh nilai-nilai pendidikan yang selama ini diterapkan di pesantren. Namun, masih terdapat beberapa kekurangan dalam pelaksanaan kelas inklusi ini anatara lain pemisahan kelas antara siswa ABK dengan kelas regular. Fanna dan rekan-rekannya di Geppsi kemudian mengadakan pelatihan untuk guru MIMA 02 Jombang tentang konsep pendidikan inklusi yang ideal, pada pertengahan Januari lalu.

Kepala MIMA 02 Jombang, M Zuhdi Asykuri menjelaskan, kelas insklusi di sekolahnya sudah di mulai sejak 7 tahun lalu, atas permintaan seorang wali murid. "Sekarang anak tersebut sudah lulus dan melanjutkan di MTs Mabdaul Maarif yang juga masih satu pondok," ujar Zuhdi yang juga alumnus PP Mabdaul Maarif tersebut.

Zuhdi menjelaskan, awalnya keputusan MIMA 02 Jombang untuk membuka kelas inklusi didasari oleh sikap untuk tidak menolak siswa yang mendaftar, sekalipun ABK. Setelah pembukaan kelas khusus inklusi tersebut, lambat laun informasi tersebut tersebar dan banyak wali murid ABK yang memindahkan anaknya ke MIMA 02 Jombang.

"Karena di sekolah sebelumnya, anaknya sering dibully oleh teman-temannya. Bahkan ada juga ABK dari Lumajang yang pindah ke sini," tutur Zuhdi.

MIMA 02 Jombang memang tidak menyiapkan guru dengan kualifikasi khusus untuk kelas inklusi. Namun memang disediakan guru yang dianggap telaten untuk membimbing kelas inklusi. "Tapi dari pelatihan kemarin, kami banyak dapat masukan berharga, termasuk soal kurikulum dan strategi pembelajaran kelas inklusi. Rencananya nantik kami akan gabungkan mereka dalam satu kelas, dengan treatmen-treatmen ysng telah kami dapat," tutur alumnus STAIFAS Kencong, Jember ini.

Perihal syarat guru dengan kualifikasi khusus, memang diakui oleh Eges Tri Wahyui, salah satu anggota Geppsi. "Kelas inklusi itu, selain digabung, juga seharusnya ada dua guru di dalam satu kelas. Jadi harus tersedia satu guru pendamping," ujar Eges.

Guru pendamping tersebut, menurut Eges, harus berkualifikasi sarjana pendidikan ketersediaan guru dengan kualifikasi tersebut memang sulit disediakan.

"Jadi salah satu solusinya, seperti  yang mulai diterapkan di MIMA 02 Jombang. Jadi sisten campuran. Sesekali digabung, kadang juga dipisah khusus untuk siswa ABK," ujar Helly Apriyanti, salah satu dosen IKIP PGRI yang juga anggota Geppsi.

Rencananya, pelatihan guru untuk sekolah inklusdi akan dilanjutkan di kecamatan-kecamatan lain. "Pertengahan februari nanti, kami akan membuka pelatihan di Dusun Babad, Kecamatan Silo," ujar Fanna. Pelaksanaan pelatihan ini memang tidak mudah, karena mereka harus menyediakan mobil khusus, jenis off-road untuk menembus medan yang sulit di desa terpencil tersebut.

Fanna menjelaskan, Geppsi memang masih bersifat informal. Gerakan yang terdiri dari 8 orang tersebut murni berdasarkan pengabdian. "Karena kami sama sekali tidak memungut biaya. Justru para dosen yang jadi anggota kami harus swadaya untuk membiayai gerakan ini. Selain itu, dalam pelatihan ini mereka juga memberikan sertifikat yang dikeluarkan IKIP PGRI Jember sebagai salah satu upaya untuk membantu sertifikat guru.

Riza Wahyu Utami, salah satu anggota Geppsi menuturkan, meski baru diluncurkan sejak Desember kemarin, respon para guru di daerah-daerah pelosok cukup tinggi. "Karena mereka selama ini menerapkan kelas inklusi tanpa ada sentuhan pelatihan yang memadai dari pemerintah. Jadi mereka sangat butuh, bahkan berinisiatif untuk swadaya," ujar mantan penyiar radio yang kini menjadi dosen pendidikan seni ini. (ad/cl/hdi)


Sumber Radar Jember 31 Januari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar